Puisi Penyair Muda Karya Joko Pinurbo

Masa muda telah ia rangkum dan ia masukkan
ke dalam tas gendongnya, dua puluh kilogram beratnya.
Pagi-pagi sekali ia pamit kepada pacarnya:
"Aku akan pergi ke puncak Merapi
mencari batu kata paling murni.
Akan kupersembahkan padamu nanti."

Menyilangkan tangan di dada, si pacar terpana.
"Tega sekali kautinggalkan aku
hanya untuk berburu kata-kata.
Kau tak tahu, kata-kata tak bisa menaklukkan hatiku.
Hanya hati kata yang dapat membuat
dadaku berdenyut dan mataku menyala."

Tanpa cium berangkatlah ia memburu mimpi.
Tertatih, terjungkal, ia panjati tebing terjal
dan terus mendaki ke puncak tinggi.
Di bawah sana pacarnya galau menanti:
akankah ia kembali atau terperosok ke jurang sepi?

Di sebuah Minggu yang hangat pulanglah ia.
Tubuhnya kusut, wajahnya kumal.
Rambutnya yang lurus berubah ikal.
Di bawah pohon mangga ia bertemu pacarnya.
"Mana batu kata paling murni untukku?
Akan kujadikan hiasan kalungku."
Ditagih janji, ia tertunduk malu.
"Gunungnya keburu meletus
sebelum aku berhasil mencapai puncaknya.
Aku cuma bawa abunya, dua puluh kilogram banyaknya."

Antara geli dan haru, si pacar teringat abu
yang dibubuhkan di dahinya di sebuah Rabu. Rabu Abu.
Ia ambil sejumput abu dari tas gendong kekasihnya,
ia oleskan pada jidatnya seraya berkata,
"Puisi pertama adalah abu."
Merapat sedikit, ia goreskan sebaris ciuman di bibirnya.
"Malam ini kau resmi jadi penyairku," ucapnya
dan selembar daun mangga jatuh di atas rambutnya.

"Maaf, buah mangganya sudah habis,
tapi aku masih menyimpan kulitnya."

(2010)

Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Traktir


Anda suka dengan karya-karya di web Narakata? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan web Narakata ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol traktir di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama