Surat-surat datang silih berganti, semuanya minta
dijawab, segera, kalau bisa hari ini.
Konon menulis surat bisa membasmi sepi.
Padahal hanya kalau sepi aku bisa dengan tenang
menulis surat agar jangan sampai kata-kataku menyakiti.
Surat ayah: Ayah menang, habis tempur melawan utang.
Surat ibu: Ibu sedang menjahit senja yang terluka
oleh rinduku. Surat istri: Telah kupanen putih
dari rambutmu. Surat teman: Teman, batukmu meletus
dalam dadaku. Surat penggemar: Salam manis buat iblis.
Ada pula surat dari masa kecil, datang di malam eksil,
ah pasti ditulis dengan pensil. Kubuka amplopnya
yang warna-warni, isinya: Ayo duel kalau berani!
Suratan nasib: tersimpan rapat di laci meja
dan tak akan pernah kubuka.
(2003)
dijawab, segera, kalau bisa hari ini.
Konon menulis surat bisa membasmi sepi.
Padahal hanya kalau sepi aku bisa dengan tenang
menulis surat agar jangan sampai kata-kataku menyakiti.
Surat ayah: Ayah menang, habis tempur melawan utang.
Surat ibu: Ibu sedang menjahit senja yang terluka
oleh rinduku. Surat istri: Telah kupanen putih
dari rambutmu. Surat teman: Teman, batukmu meletus
dalam dadaku. Surat penggemar: Salam manis buat iblis.
Ada pula surat dari masa kecil, datang di malam eksil,
ah pasti ditulis dengan pensil. Kubuka amplopnya
yang warna-warni, isinya: Ayo duel kalau berani!
Suratan nasib: tersimpan rapat di laci meja
dan tak akan pernah kubuka.
(2003)