Dongeng La Golo

Di sebuah desa kecil, hiduplah sepasang suami istri yang baru saja dikaruniai anak. Telah lama mereka menanti kehadiran sang buah hati, seorang bayi lelaki yang tampan dan lucu. Anak itu mereka beri nama La Golo, yang artinya adalah Pembuka Jalan. Kedua orangtua La Golo sangat berharap nantinya sang bayi mungil tumbuh menjadi pria dewasa yang gagah berani, membuka lahan untuk pertanian dan memimpin masyarakat dengan bijaksana.

Sayangnya, La Golo tak seperti harapan ayah ibunya. Sejak kecil, sudah terlihat sifat manja dan pemalasnya. Ia suka menangis dan merengek ketika meminta sesuatu, dan merajuk jika keinginannya tidak terpenuhi. La Golo juga tidak mau membantu pekerjaan di rumah, kerjanya hanya makan dan bermalas-malasan saja.

“Dahulu kita beri ia nama La Golo dengan harapan agar saat dewasa nanti membawa golo atau golok,” keluh sang suami pada istrinya suatu malam. “Kita berharap ia mampu membuka lahan pertanian dan perkebunan baru agar sejahtera, tapi dia benar-benar pemalas! Bagaimana mau membuka lahan perkebunan jika membantu mencabut rumput saja tidak mau.”

“Iya, aku tak tahu lagi bagaimana caranya memberitahu anak itu agar mengubah perangainya.” Sahut istrinya sedih.

Di desa, La Golo terkenal sebagai anak nakal, suka berkelahi dan mengejek anak-anak lain. Orangtuanya sangat malu karena hampir setiap hari ada penduduk desa yang melaporkan kenakalan putranya. Berkali-kali mereka mencoba menasihati, namun La Golo tak berubah juga. Semakin dewasa, tingkah lakunya semakin sulit diatur.

Tibalah masanya berburu. Usia La Golo tepat menginjak tujuh belas tahun. Adat di desa tersebut mengharuskan anak laki-laki usia tersebut untuk mulai berburu.

“Aku tak mau ikut berburu.” Rengek La Golo pada ayahnya.

“Kau harus ikut. Itu adat di desa kita, kau harus mematuhi aturan adat.”

“Tapi, aku tak suka pergi masuk hutan, apalagi harus berlari-lari mencari hewan buruan. Lebih baik aku tinggal di rumah saja.”

“Kalau kau tak mau berburu, maka kau harus menghadap kepala adat untuk menerima hukumannya. Seluruh penduduk desa pun akan memandangmu sebagai pria lemah dan pengecut. Apakah itu yang kau inginkan, Nak?” ujar ayahnya.

Dengan perasaan kesal, La Golo pun akhirnya ikut berburu. Ia tak punya pilihan. Kepala adat akan memberikan hukuman keras bagi pelanggar aturan desa, demikian pula semua orang di desa, mereka akan menghinanya seumur hidup.

Keesokan harinya, La Golo bersiap-siap mengikuti ayahnya dan pria-pria desa lain untuk berburu. Mereka menyiapkan busur, panah, parang serta senjata lainnya. Sejak pagi sang ibu pun sibuk di dapur mempersiakan nasi dan lauk pauk sebagai bekal mereka.

Rombongan penduduk desa berangkat menuju hutan sebelum matahari terbit. Hutan tersebut sebenarnya tak terlaiu jauh, namun di sepertiga perjalanan, La Golo yang terbiasa bermalas-malasan sudah merasa sangat kelelah-lahan.

“Ayah, apakah tempatnya masih jauh? Aku sudah sangat lelah berjalan.” gerutunya.

“Tak terlalu jauh lagi. Ayo, cepatlah.”

“Bagaimana bisa cepat, aku membawa busur dan panah, juga perbekalan. Berat sekali”

Ayahnya menghela napas. “Baiklah, sini aku bawakan busur, panahmu dan bekalmu agar kau bisa berjalan Iebih cepat.”

La Golo menyerahkan peralatan berburu dan membiarkan ayahnya membawa semua. Ia tak peduli jika ayahnya juga kelelahan karena harus membawa banyak barang sementara perjalanan masih jauh. Ia berjalan lambat-lambat di belakang rombongan pemburu. Makin lama, makin jauh jaraknya antara ia dan rombongan tersebut.
Karena tak melihat rombongan di depannya, La Golo kemudian memutuskan berhenti dan beristirahat di tepi jalan. “Toh, nanti saat pulang mereka akan lewat jalan ini lagi, jadi sebaiknya aku menunggu disini raja daripada ikut berburu.” Pikirnya.

Ketika sedang duduk bersitirahat, tiba-tiba La Golo mendengar suara dari batik bukit.

“Hooo…. hoooo….”

“Hai, suara apakah itu? Aku belum pernah mendengarnya.” La Golo tertarik. Ia pun mencari asal suara itu, tanpa disadari ia sudah berjalan jauh ke balik bukit. Sampailah ia di sebuah pohon yang amat besar. Suara itu berasal dari sana. La Golo mendongak, dilihatnya buah-buahan pohon tersebut bergantungan di setiap dahan. Warnanya hijau muda, berbentuk seperti tabung berlubang. Dari lubang tersebutlah angin mengalir dan membuat suara yang tadi didengar oleh La Golo.

Rasa penasarannya tuntas, La Golo berniat kembali lagi ke tepi jalan untuk menunggu ayahnya pulang berburu. Betapa terkejutnya ia karena tak ingat jalan kembali. Saat mencari asal suara ia tak memperhatikan arah, dan sekarang ia tersesat.

Dengan bingung, La Golo berusaha mencari jalan pulang, namun sia-sia hingga akhirnya ia makin tersesat, masuk jauh ke kawasan di balik bukit yang penuh pepohonan lebat. Rasa takutnya mulai muncul. Berkali–kali ia memanggil ayahnya.

“Ayah! Di mana kah kamu?” teriak La Golo dengan putus asa. Panggilannya hanya dijawab oleh suara “Hooo… hooo….” dari buah-buah tadi. La Golo mulai lelah, perutnya lapar karena semua bekal dibawa oleh ayahnya. Ia pun mencari makan dari buah-buahan yang jatuh. Di dalam hatinya, ia mulai menyesali kenakalan dan kemalasannya. Ia sadar jika ia lebih patuh pada orangtuanya, ia tidak akan tersesat seperti ini. Ia berjanji, jika bisa menemukan jalan pulang, ia akan berubah menjadi anak yang lebih baik.

Berhari-hari La Golo berjalan di tengah hutan. Ia makan buah apa saja yang bisa ditemukan, tidur di atas dahan pohon agar tak dimangsa hewan buas, dan terus berjalan tanpa tahu arah. Sampai suatu hari, La Golo bertemu dengan seorang pemburu bernama Sandari. Setelah mendengar kisahnya, Sandari mengajak La Golo bertualang. Ia juga mengajari La Golo bertahan hidup, bekerja keras mengumpulkan makanan serta belajar berburu.

Sandari adalah pemburu yang cerdas. Ia mengajari La Golo berbagai keterampilan, seperti berlari secepat rusa, memanjat setangkas monyet, membuka hutan sekuat gajah serta membidik sasaran setajam mata elang. La Golo yang sudah berubah menjadi lebih baik, tak henti-hentinya mempelajari keterampilan tersebut.

Suatu hari kedua pemuda itu tiba di sebuah desa, di mana sedang diadakan pertandingan adu ketangkasan di istana. La Golo tertarik ikut bertanding, dan dengan mudah ia mengalahkan pesaing-pesaingnya. Pada perlombaan lari, ia mampu berlari dengan sangat cepat. Pada perlombaan memanjat pohon, ia pun mampu memenangkannya. Sampailah gilirannya untuk mengikuti lomba memanah, dan ia berhasil mengalahkan para kstaria kerajaan. Raja pun terkesan dengan kemampuan La Golo, lalu bertanya hadiah apa yang diinginkannya selain uang.

“Hamba ingin pulang ke desa hamba dan bertemu dengan kedua orangtua hamba lagi, Yang Mulia.” Ia pun kemudian menjelaskan asal-usulnya pada sang raja. Raja pun memerintahkan pengawalnya untuk mencari desa asal La Golo.

Tak perlu waktu lama, La Golo pun akhirnya dapat bertemu lagi dengan kedua orangtuanya. Ia menangis meminta maaf akan kesalahan yang diperbuatnya selama ini dan berjanji akan menjadi anak yang baik dan berbakti.

Orangtua La Golo yang mengira anaknya sudah mati diterkam hewan buas, sangat bahagia mendapatkan putra terkasihnya kembali. Mereka meneteskan air mata bahagia, apalagi melihat perilaku La Golo sangat berubah.

La Golo pun kemudian menepati janjinya, menjadi anak berbakti dan senantiasa membantu orangtuanya. Ia membuka lahan pertanian dan perkebunan, dan bekerja keras agar hasilnya dapat dijual ke pasar. Orangtuanya pun sangat bahagia.
_____

Pesan moral: Legenda La Golo dari Bima adalah Menjadi anak yang rajin, mandiri dan senantiasa menyenangkan orangtua akan membuat kita menajdi bahagia dan sejahtera.
_____

Sumber: "Dongeng Cerita Rakyat NTB La Golo (Legenda Nusa Tenggara Barat)", https://dongengceritarakyat.com/dongeng-cerita-rakyat-ntb-la-golo/.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama