untuk ND
Sudah sekian tahun mayatku hilang.
Ngelayap ke mana saja dia ya, kok belum juga pulang.
"Tenang saja. Aku cuma mau iseng cari hiburan,
nonton komedi manusia di kebun binatang."
Begitu ia dulu pamitan.
Pernah kutanyakan pada petugas jawatan penculikan:
"Di manakah mayat saya disimpan?"
Jawabnya: "Mayatmu masih kami sekap
dalam sebuah dokumen rahasia negara."
"Bolehkah saya bicara dengannya sebentar?"
"Tidak bisa. Dia tak akan kami lepas sebelum melengkapi
berkas-berkas identitas: surat, kartu, dan asal-usul yang jelas."
Ada juga yang bilang: "Lho, 'kan mayatmu sedang jalan-jalan.
Mondar-mandir mencari jejakmu. Mengapa kau selalu
menghindar dan menjauh dari kenangan?"
Demikianlah, ceritanya, kami saling kehilangan.
Selalu bersilang langkah, berselisih jalan
di simpang ingatan di sebuah entah
yang senisbi waktu dan selindap ruang.
Sampai suatu malam seseorang datang dalam kuyup hujan,
membuka pintu, menyibak bayang.
"Mayatmu kutemukan di sudut halaman koran yang teronggok
di bak sampah di depan kantor departemen pembredelan."
"Siapakah engkau, perempuan?" aku bertanya.
"Aku seseorang atau sesuatu dari masa silam."
Setelah menyerahkan mayatku ke dalam pelukan,
ia pun menghilang ke balik halusi.
Tapak-tapak kakinya, jejak-jejak darahnya
seakan adalah sakramen: perjalanan panjang sonyaruri
ke sebuah getsemani.
"Coba ceritakan apa yang sesungguhnya terjadi.
Siapa sesungguhnya perempuan yang mengantarmu ke sini?"
"Jangan. Jangan sekarang. Aku masih dalam intaian mata-mata
yang bersembunyi di sini, di bekas luka ini."
Kudekap ia, kubaringkan dalam album keluarga.
"Jangan nakal. Tidurlah dengan sopan
sampai tiba saatnya nanti kaukisahkan semua ini."
(1997)
Sumber: Celana (1999).
Sudah sekian tahun mayatku hilang.
Ngelayap ke mana saja dia ya, kok belum juga pulang.
"Tenang saja. Aku cuma mau iseng cari hiburan,
nonton komedi manusia di kebun binatang."
Begitu ia dulu pamitan.
Pernah kutanyakan pada petugas jawatan penculikan:
"Di manakah mayat saya disimpan?"
Jawabnya: "Mayatmu masih kami sekap
dalam sebuah dokumen rahasia negara."
"Bolehkah saya bicara dengannya sebentar?"
"Tidak bisa. Dia tak akan kami lepas sebelum melengkapi
berkas-berkas identitas: surat, kartu, dan asal-usul yang jelas."
Ada juga yang bilang: "Lho, 'kan mayatmu sedang jalan-jalan.
Mondar-mandir mencari jejakmu. Mengapa kau selalu
menghindar dan menjauh dari kenangan?"
Demikianlah, ceritanya, kami saling kehilangan.
Selalu bersilang langkah, berselisih jalan
di simpang ingatan di sebuah entah
yang senisbi waktu dan selindap ruang.
Sampai suatu malam seseorang datang dalam kuyup hujan,
membuka pintu, menyibak bayang.
"Mayatmu kutemukan di sudut halaman koran yang teronggok
di bak sampah di depan kantor departemen pembredelan."
"Siapakah engkau, perempuan?" aku bertanya.
"Aku seseorang atau sesuatu dari masa silam."
Setelah menyerahkan mayatku ke dalam pelukan,
ia pun menghilang ke balik halusi.
Tapak-tapak kakinya, jejak-jejak darahnya
seakan adalah sakramen: perjalanan panjang sonyaruri
ke sebuah getsemani.
"Coba ceritakan apa yang sesungguhnya terjadi.
Siapa sesungguhnya perempuan yang mengantarmu ke sini?"
"Jangan. Jangan sekarang. Aku masih dalam intaian mata-mata
yang bersembunyi di sini, di bekas luka ini."
Kudekap ia, kubaringkan dalam album keluarga.
"Jangan nakal. Tidurlah dengan sopan
sampai tiba saatnya nanti kaukisahkan semua ini."
(1997)
Sumber: Celana (1999).