Mereka tiba di kamar mandi menjelang tengah malam
ketika langit terang dan bulan sedang cemerlang.
Pemimpin rombongan segera angkat bicara,
"Hadirin sekalian, malam ini kita berkumpul di sini
untuk mengantar mandi salah seorang saudara kita.
Mari kita sakiti dia agar sempurnalah mandinya."
Korban segera diseret ke kamar mandi
dan diperintahkan berdiri di depan. Wajahnya
tertunduk pucat, tubuhnya gemetar, dan matanya
seperti kenangan yang redup perlahan. Belum sempat
pemimpin rombongan menanyakan tanggal lahir
dan asal-usul korban, orang-orang yang sudah
tak sabar menyaksikan sekaratnya berseru nyaring,
"Mandikan dia! Mandikan dia!"
Tubuh tak bernama yang terlampau tabah menerima
cambukan waktu yang gagah perkasa. Mandikanlah dia.
Mulut tanpa kata yang tak perlu lagi mengucap segala
yang tak terucapkan kata. Mandikanlah dia.
Hati paling rasa yang tak pernah usai memburu cinta
di rimba raga. Mandikanlah dia.
Mandikanlah dia hingga tak tersisa lagi luka.
Pembantaian sebentar lagi dimulai. Hadirin segera
pergi setelah masing-masing menghunjamkan nyeri
ke hulu hati. Korban dibiarkan terkapar di kamar mandi.
Sepi yang tinggi besar melangkah masuk sambil
terbahak-bahak. Korban diperintahkan berdiri.
"Mandi!" bentaknya. Dengan geram diterkamnya
tubuh korban dan kemudian dikuliti. Lihatlah, korban
sedang mandi. Mandi dengan tubuh berdarah-darah.
Bahkan bulan tak berani bicara; dengan takut-takut
ia melongok lewat genting kaca. Sepi makin beringas.
Ia cengkeram tubuh kurus korban, ia serahkan
lehernya kepada yang terhormat tali gantungan.
Krrrkk! Sepi melenggang pergi sambil terbahak-bahak,
meninggalkan korban berkelejatan sendirian.
Lalu, di hening malam itu, tiba-tiba terdengar
seorang bocah menjerit pilu: "Ibu, tolong lepaskan aku, Ibu!"
(2003)
Sumber: "Puisi: Mandi (Karya Joko Pinurbo)", https://www.sepenuhnya.com/2003/03/puisi-mandi.html.
ketika langit terang dan bulan sedang cemerlang.
Pemimpin rombongan segera angkat bicara,
"Hadirin sekalian, malam ini kita berkumpul di sini
untuk mengantar mandi salah seorang saudara kita.
Mari kita sakiti dia agar sempurnalah mandinya."
Korban segera diseret ke kamar mandi
dan diperintahkan berdiri di depan. Wajahnya
tertunduk pucat, tubuhnya gemetar, dan matanya
seperti kenangan yang redup perlahan. Belum sempat
pemimpin rombongan menanyakan tanggal lahir
dan asal-usul korban, orang-orang yang sudah
tak sabar menyaksikan sekaratnya berseru nyaring,
"Mandikan dia! Mandikan dia!"
Tubuh tak bernama yang terlampau tabah menerima
cambukan waktu yang gagah perkasa. Mandikanlah dia.
Mulut tanpa kata yang tak perlu lagi mengucap segala
yang tak terucapkan kata. Mandikanlah dia.
Hati paling rasa yang tak pernah usai memburu cinta
di rimba raga. Mandikanlah dia.
Mandikanlah dia hingga tak tersisa lagi luka.
Pembantaian sebentar lagi dimulai. Hadirin segera
pergi setelah masing-masing menghunjamkan nyeri
ke hulu hati. Korban dibiarkan terkapar di kamar mandi.
Sepi yang tinggi besar melangkah masuk sambil
terbahak-bahak. Korban diperintahkan berdiri.
"Mandi!" bentaknya. Dengan geram diterkamnya
tubuh korban dan kemudian dikuliti. Lihatlah, korban
sedang mandi. Mandi dengan tubuh berdarah-darah.
Bahkan bulan tak berani bicara; dengan takut-takut
ia melongok lewat genting kaca. Sepi makin beringas.
Ia cengkeram tubuh kurus korban, ia serahkan
lehernya kepada yang terhormat tali gantungan.
Krrrkk! Sepi melenggang pergi sambil terbahak-bahak,
meninggalkan korban berkelejatan sendirian.
Lalu, di hening malam itu, tiba-tiba terdengar
seorang bocah menjerit pilu: "Ibu, tolong lepaskan aku, Ibu!"
(2003)
Sumber: "Puisi: Mandi (Karya Joko Pinurbo)", https://www.sepenuhnya.com/2003/03/puisi-mandi.html.