Di sebuah lapangan di sebuah kampung di sebuah kenangan
di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar.
Mereka duduk berdesakan menyaksikan pertunjukan film
layar lebar dengan bintang-bintangnya yang cantik dan segar.
Suasana begitu hingar. Suara-suara begitu bingar.
Setiap orang bebas bicara dan bertingkah, bikin gosip,
kabar kabur, colak-colek, clap-clup, cicit-cuit, berteriak cabul,
tanpa menghiraukan benar cerita yang sedang diputar.
Ada yang memilih mojok di bawah pohon beringin
sambil minum cendol dan bersayang-sayangan.
Ada yang lebih suka ajojing sambil mabuk dan menjerit-jerit
kesetanan. Ada yang main kartu, perang mulut, ribut
dan akhirnya gelut. Ada yang menyetel radio keras-keras
dan serius amat mendengarkan pidato presiden.
Ada yang bercakap-cakap dengan topeng.
Ada yang menyinden. Ada yang main kuda lumping,
mengamuk, kemudian terpelanting. Ada yang sesenggukan
membaca sepucuk surat dari pacarnya yang minggat.
Ada yang bertengkar memperebutkan laki-laki hidung belang.
Ada yang mencopet dan mengutil, kemudian dihajar
habis-habisan. Ada yang jual tampang, pamer pamor,
menjaring iseng, dengan wajah menor-menor.
Ada yang kencing sembarangan di bawah pohon pisang.
Ada juga yang menjajakan berbagai mayat orang hilang
yang gambarnya sering terpampang di koran.
Penyair adalah penjual rokok yang duduk terkantuk-kantuk
di sudut yang remang, yang sambil klepas-klepus
memperingatkan: “Merokok dapat merugikan kesehatan.”
Yang menyimak segala hingar dan segala bingar
sambil mendengar yang tak terdengar.
Yang berani menduga siapa di antara orang-orang
yang sibuk tertawa itu yang melengos pulang
kemudian menggantung diri di kamar
karena diam-diam merasa sangat kesepian.
Tontonan makin seru. Kacau bukan soal.
Tiba-tiba terdengar letusan. Banyak yang ngacir. Kocar-kacir.
Lintang pukang. Tunggang langgang. Maling berteriak maling.
Spiker melengking-lengking. Ada yang lari terkencing-kencing.
Lalu datang orang berseragam, mengamankan keadaan.
“Tenang. Situasi dapat dikendalikan.
Pertunjukan dapat dilanjutkan.”
“Jakarta memang asyik euy,” kata penjual rokok itu
yang sambil klepas-klepus memperingatkan:
“Merokok dapat merugikan kemiskinan.”
Kemudian turunlah gerimis, pertunjukan pun bubar. Misbar.
Di sebuah lapangan di sebuah kampung di sebuah kenangan
di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar.
Suatu saat akan aku temui penjual rokok itu.
Siapa tahu ia saudara kembarku.
(1999)
Sumber: "Puisi: Misbar (Karya Joko Pinurbo)", https://www.sepenuhnya.com/2005/03/puisi-misbar.html.
di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar.
Mereka duduk berdesakan menyaksikan pertunjukan film
layar lebar dengan bintang-bintangnya yang cantik dan segar.
Suasana begitu hingar. Suara-suara begitu bingar.
Setiap orang bebas bicara dan bertingkah, bikin gosip,
kabar kabur, colak-colek, clap-clup, cicit-cuit, berteriak cabul,
tanpa menghiraukan benar cerita yang sedang diputar.
Ada yang memilih mojok di bawah pohon beringin
sambil minum cendol dan bersayang-sayangan.
Ada yang lebih suka ajojing sambil mabuk dan menjerit-jerit
kesetanan. Ada yang main kartu, perang mulut, ribut
dan akhirnya gelut. Ada yang menyetel radio keras-keras
dan serius amat mendengarkan pidato presiden.
Ada yang bercakap-cakap dengan topeng.
Ada yang menyinden. Ada yang main kuda lumping,
mengamuk, kemudian terpelanting. Ada yang sesenggukan
membaca sepucuk surat dari pacarnya yang minggat.
Ada yang bertengkar memperebutkan laki-laki hidung belang.
Ada yang mencopet dan mengutil, kemudian dihajar
habis-habisan. Ada yang jual tampang, pamer pamor,
menjaring iseng, dengan wajah menor-menor.
Ada yang kencing sembarangan di bawah pohon pisang.
Ada juga yang menjajakan berbagai mayat orang hilang
yang gambarnya sering terpampang di koran.
Penyair adalah penjual rokok yang duduk terkantuk-kantuk
di sudut yang remang, yang sambil klepas-klepus
memperingatkan: “Merokok dapat merugikan kesehatan.”
Yang menyimak segala hingar dan segala bingar
sambil mendengar yang tak terdengar.
Yang berani menduga siapa di antara orang-orang
yang sibuk tertawa itu yang melengos pulang
kemudian menggantung diri di kamar
karena diam-diam merasa sangat kesepian.
Tontonan makin seru. Kacau bukan soal.
Tiba-tiba terdengar letusan. Banyak yang ngacir. Kocar-kacir.
Lintang pukang. Tunggang langgang. Maling berteriak maling.
Spiker melengking-lengking. Ada yang lari terkencing-kencing.
Lalu datang orang berseragam, mengamankan keadaan.
“Tenang. Situasi dapat dikendalikan.
Pertunjukan dapat dilanjutkan.”
“Jakarta memang asyik euy,” kata penjual rokok itu
yang sambil klepas-klepus memperingatkan:
“Merokok dapat merugikan kemiskinan.”
Kemudian turunlah gerimis, pertunjukan pun bubar. Misbar.
Di sebuah lapangan di sebuah kampung di sebuah kenangan
di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar.
Suatu saat akan aku temui penjual rokok itu.
Siapa tahu ia saudara kembarku.
(1999)
Sumber: "Puisi: Misbar (Karya Joko Pinurbo)", https://www.sepenuhnya.com/2005/03/puisi-misbar.html.