Ia sering bingung: apa yang harus ia lakukan untuk
murid-muridnya saat ia memberikan pelajaran puisi.
Susah-susah amat. Ia bentangkan saja puisi di papan
tulis atau di dinding kelas.
“Puisi itu hutan rimba,” ia memulai pelajaran. “Kalian
mau jadi anak rimba?” Meskipun sebagian besar
muridnya anak-anak kota, mereka ternyata mau
mencoba menjadi anak-anak rimba. “Kota juga rimba,”
cetus pak guru yang pandang matanya seluas rimba.
Setelah menunjukkan beberapa celah untuk masuk
rimba, ditambah sedikit penjelasan tentang peta rimba,
ia meminta murid-muridnya segera menjelajahi rimba.
Semula ada yang takut-takut, namun setelah dilecut-
lecut akhirnya berani juga. Ada pula yang belum-belum
sudah bergidik: “Kalau ada ular, bagaimana?” Pak guru
merasa geli: “Jangankan di hutan, di kamar mandi pun
kadang ada ular.”
Ribut sekali. Mereka berhamburan ke dalam rimba
sambil bersorak-sorak: “Rusa jantan berlari masuk
hutan….” Kemudian ada yang menimpal: “Curang!
Memangnya hanya rusa jantan yang bisa berlari masuk
hutan? Rusa betina juga bisa. Ayo balapan!”
Guru puisi itu tampak tenang-tenang saja, tapi waspada.
Ia sudah sangat sering masuk hutan dan tahu rahasia
rimba. Ia sibuk berjaga-jaga, siap memberikan
pertolongan darurat bila, misalnya, ada muridnya yang
linglung atau tersesat.
Tiba-tiba suasana berangsur senyap. Tak terdengar lagi
derai tawa dan suara bernyanyi bersahutan. Ia mulai
panik. Jangan-jangan mereka benar-benar tersesat.
Jangan-jangan ditelan gelap. Jangan-jangan ada yang
masuk jurang. Jangan-jangan ada yang digigit ular. Ia
ingin sekali mencari dan menemukan mereka, tapi sama
sekali tak ada sinyal suara. Malah ia sendiri tiba-tiba
takut tersesat. Takut pada yang tak terlihat.
Ia masih tercenung gundah ketika murid-muridnya satu
persatu muncul dari dalam rimba. Ada yang pakaiannya
kusut dan kotor. Ada yang wajahnya belepotan tanah.
Ada yang lecet-lecet, bahkan luka-luka. Ada yang pantat
celananya jebol. Ada yang kehilangan tas dan kamera.
Ada yang pura-pura kesurupan dan sakit jiwa.
Setelah semuanya berkumpul kembali, dengan nada
murung ia berkata: “Maafkan saya ya, tadi cuma
menunjukkan jalan masuk rimba, tapi tidak memberi
tahu jalan keluar rimba. Aku ingin menjemput kalian
sebenarnya, tapi khawatir kalian merasa dikira anak
manja.” Seorang murid yang rambutnya jadi mirip
rimba menukas: “Jangan terlalu sensi(tif) dong Pak.
Kami baik-baik saja. Lihat nih, kami masih utuh.”
Tiba-tiba matanya berbinar-binar kembali. Lalu ia agak
kewalahan mendengarkan celoteh murid-muridnya. Tadi
saya hampir terperosok ke jurang lho Pak. Saya
berpapasan dengan ular. Saya malah sempat mandi di
pancuran. Saya ketemu pelangi di sungai. Tadi ada
monyet naksir saya lho Pak. Saya terjatuh tanpa sebab.
Saya terguling di tebing. Saya anak rimba!
Bel berbunyi. Bubar. Pelajaran puisi (untuk sementara)
selesai. “Terima kasih ya Pak.” “Lho, jangan berterima
kasih kepada saya. Berterima kasihlah kepada puisi.” Ia
baru sadar bahwa tadi ia tidak sempat sarapan sehingga
perutnya kembung. Agak terburu-buru ia meninggalkan
ruang kelas. Langkahnya kelihatan goyah. Tubuhnya
kelihatan ringkih. Tapi ia adalah raja rimba. Ia kepalkan
dan acungkan tangannya: “Hidup puisi!”
Gerimis berderai membasuh rambutnya yang keperak-
perakan. Gerimis siang. Seperti ribuan diksi dan imaji
berhamburan dari pohon hayat yang rimbun dan tinggi.
Seperti ribuan morfem dan fonem bertaburan dari
pohon waktu yang tak pernah mati. Dan ia berjalan
tergesa dengan perut lapar dan kembung. Nun di
belakang sana murid-muridnya berdiri dan bernyanyi:
“Rusa jantan berlari masuk kantin ....”
Sumber: Telepon Genggam (2003).
murid-muridnya saat ia memberikan pelajaran puisi.
Susah-susah amat. Ia bentangkan saja puisi di papan
tulis atau di dinding kelas.
“Puisi itu hutan rimba,” ia memulai pelajaran. “Kalian
mau jadi anak rimba?” Meskipun sebagian besar
muridnya anak-anak kota, mereka ternyata mau
mencoba menjadi anak-anak rimba. “Kota juga rimba,”
cetus pak guru yang pandang matanya seluas rimba.
Setelah menunjukkan beberapa celah untuk masuk
rimba, ditambah sedikit penjelasan tentang peta rimba,
ia meminta murid-muridnya segera menjelajahi rimba.
Semula ada yang takut-takut, namun setelah dilecut-
lecut akhirnya berani juga. Ada pula yang belum-belum
sudah bergidik: “Kalau ada ular, bagaimana?” Pak guru
merasa geli: “Jangankan di hutan, di kamar mandi pun
kadang ada ular.”
Ribut sekali. Mereka berhamburan ke dalam rimba
sambil bersorak-sorak: “Rusa jantan berlari masuk
hutan….” Kemudian ada yang menimpal: “Curang!
Memangnya hanya rusa jantan yang bisa berlari masuk
hutan? Rusa betina juga bisa. Ayo balapan!”
Guru puisi itu tampak tenang-tenang saja, tapi waspada.
Ia sudah sangat sering masuk hutan dan tahu rahasia
rimba. Ia sibuk berjaga-jaga, siap memberikan
pertolongan darurat bila, misalnya, ada muridnya yang
linglung atau tersesat.
Tiba-tiba suasana berangsur senyap. Tak terdengar lagi
derai tawa dan suara bernyanyi bersahutan. Ia mulai
panik. Jangan-jangan mereka benar-benar tersesat.
Jangan-jangan ditelan gelap. Jangan-jangan ada yang
masuk jurang. Jangan-jangan ada yang digigit ular. Ia
ingin sekali mencari dan menemukan mereka, tapi sama
sekali tak ada sinyal suara. Malah ia sendiri tiba-tiba
takut tersesat. Takut pada yang tak terlihat.
Ia masih tercenung gundah ketika murid-muridnya satu
persatu muncul dari dalam rimba. Ada yang pakaiannya
kusut dan kotor. Ada yang wajahnya belepotan tanah.
Ada yang lecet-lecet, bahkan luka-luka. Ada yang pantat
celananya jebol. Ada yang kehilangan tas dan kamera.
Ada yang pura-pura kesurupan dan sakit jiwa.
Setelah semuanya berkumpul kembali, dengan nada
murung ia berkata: “Maafkan saya ya, tadi cuma
menunjukkan jalan masuk rimba, tapi tidak memberi
tahu jalan keluar rimba. Aku ingin menjemput kalian
sebenarnya, tapi khawatir kalian merasa dikira anak
manja.” Seorang murid yang rambutnya jadi mirip
rimba menukas: “Jangan terlalu sensi(tif) dong Pak.
Kami baik-baik saja. Lihat nih, kami masih utuh.”
Tiba-tiba matanya berbinar-binar kembali. Lalu ia agak
kewalahan mendengarkan celoteh murid-muridnya. Tadi
saya hampir terperosok ke jurang lho Pak. Saya
berpapasan dengan ular. Saya malah sempat mandi di
pancuran. Saya ketemu pelangi di sungai. Tadi ada
monyet naksir saya lho Pak. Saya terjatuh tanpa sebab.
Saya terguling di tebing. Saya anak rimba!
Bel berbunyi. Bubar. Pelajaran puisi (untuk sementara)
selesai. “Terima kasih ya Pak.” “Lho, jangan berterima
kasih kepada saya. Berterima kasihlah kepada puisi.” Ia
baru sadar bahwa tadi ia tidak sempat sarapan sehingga
perutnya kembung. Agak terburu-buru ia meninggalkan
ruang kelas. Langkahnya kelihatan goyah. Tubuhnya
kelihatan ringkih. Tapi ia adalah raja rimba. Ia kepalkan
dan acungkan tangannya: “Hidup puisi!”
Gerimis berderai membasuh rambutnya yang keperak-
perakan. Gerimis siang. Seperti ribuan diksi dan imaji
berhamburan dari pohon hayat yang rimbun dan tinggi.
Seperti ribuan morfem dan fonem bertaburan dari
pohon waktu yang tak pernah mati. Dan ia berjalan
tergesa dengan perut lapar dan kembung. Nun di
belakang sana murid-muridnya berdiri dan bernyanyi:
“Rusa jantan berlari masuk kantin ....”
Sumber: Telepon Genggam (2003).