(untuk SS)
“Aku sekarang bisa pulang ke rumah,” kata temanku
dengan wajah berbinar-binar.
Lalu ia tunjukkan rumahnya yang baru, rumah yang besar,
yang halamannya luas tak berpagar.
“Bukan pulang, tapi singgah,” aku berkilah,
“sebab hanya kalau larut malam kau berumah,
sedang sebagian besar waktumu, jadwal hidupmu
kauhabiskan di sekian banyak entah.”
“Iyalah,” ia mengalah, dan dengan takjub kukagumi
arsitektur rumahnya yang langka dan spesial,
tampak sederhana tapi menggoda.
“Bertahun-tahun aku menabung kemiskinan
untuk membangun rumah ini,” kata temanku.
“Bukan kemiskinan, tapi kematian,” aku menyanggah.
“Iyalah,” ia kembali mengalah.
Ketika itu Jakarta hampir punah.
Seluruh pelosok telah habis dijarah
petualang-petualang kampung dari berbagai daerah.
Di mana-mana orang bikin gedung, pabrik, hotel, toko,
salon, kesenian, pemerintahan, panti pijat, warung gaul
sehingga untuk mukim kau harus cari kapling
di kompleks perumahan bawah tanah.
Temanku beruntung bisa bikin rumah besar di sebidang tanah
bekas kuburan Cina yang konon banyak jinnya.
Kujelajahi rumah temanku yang ada kolam renang
dan kolam ikannya.
Dinding-dindingnya penuh lukisan dan topeng.
“Jin tidak berani gentayangan di sini,” sindir temanku,
“sebab jin takut topeng, apalagi topengnya
lebih ganteng dari kamu.”
Wah, rumah temanku banyak benar kamarnya.
Di bagian depan, misalnya, ada kamar khusus
untuk tamu-tamu miskin dari luar kota yang datang
untuk sekadar numpang mandi, tidur, dan, tentu saja, makan.
Persis di bagian tengah tersedia sel tahanan,
lengkap dengan terali dan cahaya remang-remangnya.
“Siapa tahu ada seniman kriminal
tiba-tiba mengamuk di sini,” jelasnya.
Nun di pojok belakang ada kamar gelap yang dijaga
sepasang jerangkong, dirancang untuk kuburan.
“Kau anak jadah, sebatang kara. Kalau suatu saat kau mati
di Jakarta, biar kukubur kau di sini,” temanku bercanda.
Aku merinding, dan ia tunjukkan nisan coklat
yang belum diberi nama.
Masih banyak ruangan lain yang entah untuk apa.
Ada, konon, ruangan dingin buat bercinta,
tapi aku tak tahu di sebelah mana.
Ah, kurang apa rumah temanku.
Sayang si empunya jarang pulang, eh singgah.
Kalaupun singgah, ia lebih suka mendekam dan menulis
di dalam sel dan tak seorang pun bisa mengusiknya.
“Bahkan topeng pun tidak berani menggangguku,” katanya.
Seperti puisi, mungkin juga cinta, rumah temanku
jauh dan tersembunyi.
Tidak mudah menemukan alamatnya.
Kalaupun sampai, kemudian kubuka pintunya,
bisa saja aku lantas tersesat dan terkurung
dalam keluasannya.
Tapi aku selalu ingin singgah ke sana.
Teman, aku datang naik andong. Kling klong kling klong.
(1999)
Sumber: "Puisi: Rumah Persinggahan (Karya Joko Pinurbo)", https://www.sepenuhnya.com/2003/03/puisi-rumah-persinggahan.html.
“Aku sekarang bisa pulang ke rumah,” kata temanku
dengan wajah berbinar-binar.
Lalu ia tunjukkan rumahnya yang baru, rumah yang besar,
yang halamannya luas tak berpagar.
“Bukan pulang, tapi singgah,” aku berkilah,
“sebab hanya kalau larut malam kau berumah,
sedang sebagian besar waktumu, jadwal hidupmu
kauhabiskan di sekian banyak entah.”
“Iyalah,” ia mengalah, dan dengan takjub kukagumi
arsitektur rumahnya yang langka dan spesial,
tampak sederhana tapi menggoda.
“Bertahun-tahun aku menabung kemiskinan
untuk membangun rumah ini,” kata temanku.
“Bukan kemiskinan, tapi kematian,” aku menyanggah.
“Iyalah,” ia kembali mengalah.
Ketika itu Jakarta hampir punah.
Seluruh pelosok telah habis dijarah
petualang-petualang kampung dari berbagai daerah.
Di mana-mana orang bikin gedung, pabrik, hotel, toko,
salon, kesenian, pemerintahan, panti pijat, warung gaul
sehingga untuk mukim kau harus cari kapling
di kompleks perumahan bawah tanah.
Temanku beruntung bisa bikin rumah besar di sebidang tanah
bekas kuburan Cina yang konon banyak jinnya.
Kujelajahi rumah temanku yang ada kolam renang
dan kolam ikannya.
Dinding-dindingnya penuh lukisan dan topeng.
“Jin tidak berani gentayangan di sini,” sindir temanku,
“sebab jin takut topeng, apalagi topengnya
lebih ganteng dari kamu.”
Wah, rumah temanku banyak benar kamarnya.
Di bagian depan, misalnya, ada kamar khusus
untuk tamu-tamu miskin dari luar kota yang datang
untuk sekadar numpang mandi, tidur, dan, tentu saja, makan.
Persis di bagian tengah tersedia sel tahanan,
lengkap dengan terali dan cahaya remang-remangnya.
“Siapa tahu ada seniman kriminal
tiba-tiba mengamuk di sini,” jelasnya.
Nun di pojok belakang ada kamar gelap yang dijaga
sepasang jerangkong, dirancang untuk kuburan.
“Kau anak jadah, sebatang kara. Kalau suatu saat kau mati
di Jakarta, biar kukubur kau di sini,” temanku bercanda.
Aku merinding, dan ia tunjukkan nisan coklat
yang belum diberi nama.
Masih banyak ruangan lain yang entah untuk apa.
Ada, konon, ruangan dingin buat bercinta,
tapi aku tak tahu di sebelah mana.
Ah, kurang apa rumah temanku.
Sayang si empunya jarang pulang, eh singgah.
Kalaupun singgah, ia lebih suka mendekam dan menulis
di dalam sel dan tak seorang pun bisa mengusiknya.
“Bahkan topeng pun tidak berani menggangguku,” katanya.
Seperti puisi, mungkin juga cinta, rumah temanku
jauh dan tersembunyi.
Tidak mudah menemukan alamatnya.
Kalaupun sampai, kemudian kubuka pintunya,
bisa saja aku lantas tersesat dan terkurung
dalam keluasannya.
Tapi aku selalu ingin singgah ke sana.
Teman, aku datang naik andong. Kling klong kling klong.
(1999)
Sumber: "Puisi: Rumah Persinggahan (Karya Joko Pinurbo)", https://www.sepenuhnya.com/2003/03/puisi-rumah-persinggahan.html.