Puisi Sepasang Tamu Karya Joko Pinurbo

Di ruang tamu ini, sekian tahun silam, saya menerima
seorang pemuda kurus kering yang datang menawarkan akik.
Saya tidak suka akik. Lebih tidak suka lagi pada bualannya
tentang kesaktian akik. Seberapa pun hebatnya,
akik hanya akan melemahkan iman.
Tanpa basa-basi saya minta anak muda yang tampak
kelaparan itu segera angkat kaki.
Ia pun pamit dengan penuh ketakutan
dan sambil pergi matanya tetap memandang sayu kepada saya.

Tentu bukan karena akik kalau rumah itu terpaksa saya jual
kepada seseorang dan orang itu kemudian menjualnya
kepada seseorang yang lain, demikian seterusnya.
Rumah itu memang angker,
tidak pernah bikin tenteram penghuninya.

Kini sayalah yang duduk terlunta-lunta di ruang tamu ini.
Wah, mewah benar bekas ruang tamu kesayanganku.
Ada pendingin udaranya, ada cermin besarnya,
ada pula lukisan tidak jelas yang pasti sangat mahal harganya.
Cukup lama saya menunggu, tapi si empunya rumah
tidak juga keluar menemui saya. Saya bermaksud
menawarkan obat kuat yang dibuat khusus untuk orang kaya.

Dengan jengkel saya mengintip ke ruang tengah.
Wah, si empunya rumah sedang sibuk bergoyang-goyang
mengikuti irama musik yang ia bunyikan keras-keras.
Setelah saya panggil berulang-ulang dengan suara lantang,
barulah ia sudi menemui saya.

Tidak salah lagi, dia adalah si bekas pedagang akik yang dulu
menghiba-hiba di hadapan saya.
Sayang ia pura-pura tidak pernah kenal saya.

“Masih jualan akik, Pak?” saya coba memancing reaksinya.
Ia menjawab ketus: “Jangan bicara akik dengan saya.
Akik hanya akan melemahkan iman.”
Setelah menimang-nimang seluruh jenis obat
yang saya bawa, dengan sinis ia berkata:
“Maaf, tidak ada yang cocok dengan kapasitas saya.”
Kemudian ia memerintahkan saya segera angkat kaki
dan sebelum saya sempat pamitan ia sudah buru-buru masuk
ke ruang tengah untuk melanjutkan kesibukannya.

Suatu hari saya mendengar kabar bahwa si bekas penjual akik
yang mulai sombong itu sedang terkapar di rumah sakit,
terkena penyakit berat yang entah apa namanya.
Saya menyempatkan diri menjenguknya.
Duh, kasihan juga melihat ia terbaring lemah dengan mata
kadang terpejam kadang terbuka.

Ketika di kamar sakitnya hanya tinggal kami berdua,
saya bisikkan di telinganya: “Rasain lu!”
Serta-merta matanya membelalak dan dengan gagah
ia menimpal: “Prek lu!”
Cukup lama kami beradu pandang, dan kami sama-sama
berusaha tidak tertawa atau malah mengeluarkan air mata.

(2001)


Sumber: Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama