(sebuah sajak yang mungkin saja mengingatkan "pacar senja" Joko Pinurbo)
Kekasih Senja duduk di beranda. Pandang matanya mengarah ke barat. Matahari berkilau dengan emasnya. Ia seakan mendengar kepak sayap dan derap kaki kuda, seseorang pengembara membawa gendewa berpanah asmara. Kekasih Senja masih bersetia dengan keyakinan: Ia akan datang pada satu masa membawa tanda cinta. Begitulah, Kekasih Senja selalu memanjatkan doa dan pengharapannya, membahasakan rindu dan penantiannya dengan sebongkah rasa yang meruah.
"Aku datang, Cinta!" dengan jelas ia mendengar kerisik angin yang menggesek daun-daun waru di belakang rumahnya. Daun-daun waru itu, yang semula penuh dengan debu, bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan seakan melafazkan dzikir. Rimbun daun waru itu lalu menghijau oleh desau dan belaian angin. Angin lalu berbisik dengan kerisiknya yang khas, "Aku membawa warta, masa yang kalian tunggu sedegap rindu telah melesat menuju ke mari. Ia menunggang kuda putih dan di pungungnya tergendong gendewa berbusur cinta."
"Begitukah?"
Kekasih Senja lalu berdiri dengan gairah. Dadanya terasa sesak oleh harap dan keinginan berdekapan. Matahari telah tenggelam di ufuk keteduhan. Kekasih Senja memasuki ruang pribadinya untuk bersegera melakukan ritual penyambutan. Ia bergegas mandi keramas. Air menderas. Membasuh seluruh tubuh Kekasih Senja. Dari bibir mungilnya lalu terdengar senandung " Aku masih, seperti dahulu. Menunggumu sampai akhir hidupku..." Byur. Byur. Suara air menyiram tubuhnya yang jelita.
Pelan tetapi pasti Kekasih Senja membentangkan sajadah. Telah ia kenakan kelengkapan ritual pemujaan untuk menyambut pengendara kuda bersayap yang menggendong gendewa berbusur cinta. Pelan Kekasih Senja membuka pintu di dadanya. Ia buka pula segala yang bernama jendela. Lalu dengan desah pasrah meluncurlah kidung dan senandung puja-puji yang meluncur dari beranda dadanya. Kekasih Senja seperti sedia kala, bersiap menyambut kehadiran demi kehadiran Sang Pujaan.
(Sanggar Kreasi, 24 Februari 2011)
Sumber: "Puisi: Busur Cinta Yessika (Karya Dimas Arika Mihardja)", https://www.sepenuhnya.com/2018/11/puisi-busur-cinta-yessika.html.
Kekasih Senja duduk di beranda. Pandang matanya mengarah ke barat. Matahari berkilau dengan emasnya. Ia seakan mendengar kepak sayap dan derap kaki kuda, seseorang pengembara membawa gendewa berpanah asmara. Kekasih Senja masih bersetia dengan keyakinan: Ia akan datang pada satu masa membawa tanda cinta. Begitulah, Kekasih Senja selalu memanjatkan doa dan pengharapannya, membahasakan rindu dan penantiannya dengan sebongkah rasa yang meruah.
"Aku datang, Cinta!" dengan jelas ia mendengar kerisik angin yang menggesek daun-daun waru di belakang rumahnya. Daun-daun waru itu, yang semula penuh dengan debu, bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan seakan melafazkan dzikir. Rimbun daun waru itu lalu menghijau oleh desau dan belaian angin. Angin lalu berbisik dengan kerisiknya yang khas, "Aku membawa warta, masa yang kalian tunggu sedegap rindu telah melesat menuju ke mari. Ia menunggang kuda putih dan di pungungnya tergendong gendewa berbusur cinta."
"Begitukah?"
Kekasih Senja lalu berdiri dengan gairah. Dadanya terasa sesak oleh harap dan keinginan berdekapan. Matahari telah tenggelam di ufuk keteduhan. Kekasih Senja memasuki ruang pribadinya untuk bersegera melakukan ritual penyambutan. Ia bergegas mandi keramas. Air menderas. Membasuh seluruh tubuh Kekasih Senja. Dari bibir mungilnya lalu terdengar senandung " Aku masih, seperti dahulu. Menunggumu sampai akhir hidupku..." Byur. Byur. Suara air menyiram tubuhnya yang jelita.
Pelan tetapi pasti Kekasih Senja membentangkan sajadah. Telah ia kenakan kelengkapan ritual pemujaan untuk menyambut pengendara kuda bersayap yang menggendong gendewa berbusur cinta. Pelan Kekasih Senja membuka pintu di dadanya. Ia buka pula segala yang bernama jendela. Lalu dengan desah pasrah meluncurlah kidung dan senandung puja-puji yang meluncur dari beranda dadanya. Kekasih Senja seperti sedia kala, bersiap menyambut kehadiran demi kehadiran Sang Pujaan.
(Sanggar Kreasi, 24 Februari 2011)
Sumber: "Puisi: Busur Cinta Yessika (Karya Dimas Arika Mihardja)", https://www.sepenuhnya.com/2018/11/puisi-busur-cinta-yessika.html.