Puisi Episode Sore Karya Floribertus Rahardi

Matahari jingga
bagai belahan buah semangka
mengapung di sebelah
tugu Monas
gedung-gedung tinggi
jadi terpulas rona emas.

Hujan
yang mengguyur Jakarta
siang tadi
masih tersisa di ujung daun akasia
kristal-kristal emas
tapi di tenggara sana
kelabu dan suram.

Namun secara umum
cuaca Jakarta baik-baik saja
langit mulai dingin
udara masih basah
kereta api listrik dari Kota
menuju Bogor
tampak kecapekan
dan sesak napas
dijejali manusia
di luar kapasitas.

Kere-kere
menodongkan aktingnya
yang memelas
para pengamen menggenjreng gitar 
lalu menyanyi
suara loyo dan pasrah
menyembur dari matanya
lalu rokok disulut
dan asap knalpot menghambur
dari bis kota yang menderu
entah menuju ke mana.

“Inikah sarang manusia itu?”
“Mereka bersarang di kubangan semen dan aspal
yang keras dan gersang begini?”
“Mereka kawin di rumah-rumah petak
lalu bininya beranak di rumah sakit beranak?”
“Apa yang mereka makan?”
“Pucuk pakis?”
“Daun nibung?”
“Mereka makan apa saja!”
“Manusia-manusia itu kalau mati dibuang ke mana?”
“Ke laut?”
“Tidak!”
“Ada yang ditaruh di dalam tanah
ada yang dibakar!”
“Dipanggang?”
“Tidak!”
“Dibakar jadi abu lalu abunya dibuang ke laut.
Ada juga yang disimpan di rumah abu.”
“Mengapa manusia membuat sarang setinggi itu?
Kalau ambruk bagaimana?”
“Itu kuat sekali.
Tidak akan ambruk.”
“Di sini tidak ada binatang?”
“Ada.
Ada anjing gemuk-gemuk
karena tiap hari diberi daging.”
“Ada juga sapi dan kambing
dan ayam yang dibawa kemari untuk disembelih.”
“Di sana, di Ragunan, ada bermacam-macam hewan
yang dikerangkeng.
Ada macan, badak afrika, ular,
semua dikurung.”
“Di Taman Mini juga ada burung-burung yang dikurung
di kandang sangat besar.”
“Lo, di pasar Pramuka juga ada
banyak sekali binatang yang dijual.”
“Untuk disembelih?”
“Bukan!
Untuk dipelihara sebagai klangenan!”
“O!”
“Kalau begitu mari kita bebaskan mereka.”
“Ayo!”
“Jangan sekarang!
Nanti malam saja!”
“Itu lebih baik. Lebih aman!”

Sore
bau tanah basah
yang lembap dan hangat
bau hujan yang masih menempel
di daun-daun
bau kebebasan yang hanya di angan-angan
di sebuah rumah petak
di Kramat Sentiong
seorang kakek
menyeruput teh tubruk
dan dua potong kue pancong
di depannya pemuda tanggung
mengepulkan asap keretek
biru dan harum tapi hangat
di luar sana becek
dingin dan kumuh.

“Kemerdekaan itu memang mahal le!
Mahal sekali!”
“Berapa juta mbah?”
“O, tidak bisa dihargai dengan uang!”
“Lalu? Dengan cek atau giro bilyet?”
“Opo kuwi? Mahal itu, artinya tidak semua orang
bisa merdeka.”
“Jadi, yang bisa merdeka itu hanya
yang kaya-kaya begitu?”
“Lo, tidak! Tidak begitu!
Kaya, berpangkat, pinter, belum tentu bisa merdeka!”
“Merdeka saja kok susah Mbah!”
“Memang. Merdeka itu tidak mudah.
Merdeka itu harus iklas.
Tidak diikat oleh apapun.
Oleh harta, oleh anak istri, oleh atasan, oleh pangkat
oleh keinginan. Itu baru namanya merdeka.”
“La simbah kok terikat sama teh tubruk?”
“Tidak! Saya tidak minum teh tidak apa-apa.
Kalau ada diminum, tidak ada tidak apa-apa.
Itu namanya merdeka.
Pantang 100%, itu namanya justru tidak merdeka!”
“Susah mbah ngomong sama sampeyan!”
“Susah dengkulmu itu. Yang susah ya
otakmu sendiri!”

Jakarta
matahari jingga
seragam kantor yang mulai lusuh
bau keringat diguyur parfum
diterpa debu
terasa sulit menikmati kemerdekaan
di metropolitan ini
manusia
makhluk paling mulia
makhluk berderajat tinggi itu
ternyata justru tunduk pada
benda-benda ciptaannya sendiri
jam
kartu absen
program diet
rokok
para badak terhenyak
menyaksikan
kubangan beton
kubangan aspal
rumpun besi
batang-batang baja
dan belukar kawat tembaga.

Di mana gemericik air Citerjun?
ke mana gugusan kabut?
ke mana gundukan
gunung Payung itu kau pindahkan?
aliran sungai Cigenter
di sini kali Sunter tenang namun menghitam
penuh sampah kaleng dan plastik
dan daun-daun nipah
yang tegak di kiri-kanannya
telah menjadi triplek
dan dicat warna-warni
harum kembang pinang
wangi anggrek merpati
disekap di ketiak karpet
dan matahari jingga
bersiap-siap lengser
dari langit.

“Inikah duri-duri rotan itu?
mengapa keras dan dipasang
melingkar-lingkar
menghadang di pintu gerbang
melintang di jalanan?”

Lalu gemuruh lalulintas itu senyap
dan gerombolan mahasiswa
dan massa
datang dari arah sana
mereka bergerak
berteriak-teriak
dan jaket-jaket mereka
berkibaran
rambut-rambut mereka
dihajar debu dan angin
tetapi warna jingga itu
merata di wajah-wajah mereka.

“Anak-anak manusia
mengapa Anda marah?
mengapa Anda tidak tinggal saja di rumah
nonton video porno
atau makan kacang goreng
dan mendengarkan pop Amerika
sambil memeluk guling?
Mengapa wajah-wajah itu
masih saja gundah?”

Dari depan sana
pasukan anti huru-hara
bagai robot
bergerak
lalu dua gugus anak manusia itu
saling berhadap-hadapan.
Apakah ini versi terbaru dari
Bharatayuda Jayabinangun?
Atau mereka hanyalah
wayang
yang digerak-gerakkan oleh dalang?”

Pasukan berseragam itu
bersenjata lengkap
dan dikawal panser dan tank
mereka menghadang
para mahasiswa
yang telanjang
laki-laki dan perempuan
bagai adam dan hawa
yang bercengkerama di taman Eden
mereka tidak tahu dosa
mereka belum sempat menyantap
buah pengetahuan baik dan jahat
mereka bergerak
menyanyi dan bersorak-sorak.

“Padahal peluru-peluru itu
terbuat dari logam
dan sangat tajam
dan pasti akan mengoyak
daging dan meremukkan tulang
mengapa anak-anak muda itu
tidak ketakutan?”

Tiba-tiba badak itu
muncul bagai panser gaib
di antara para mahasiswa
mereka bergerak
badak-badak itu menyeruduk
dan peluru-peluru ditembakkan
tetapi badak-badak itu
terus saja bergerak
dan mendesak
menyeruduk
menginjak-injak
menggulingkan panser
dan mendorongnya masuk got.

“Lari! Lari!
Ada badak siluman!”
“Siluman badak!
Para mahasiswa mengerahkan Siluman badak.”
“Mereka dibantu iblis Komunis!”
“Iblis?”
“Setan maksudnya!”
“Ya setan Zionis!”
“Hantu badak! Ayo kita lari!”

Para mahasiswa tertegun
mereka heran
“Dari mana datangnya badak-badak ini?”
“Dari Ujung Kulon?”
“Jangan-jangan dari Ionesco?”
“Dari mana itu Ionesco?”
“Mungkin dikirim Tuhan!”
“Hus! Jangan Tuhan dibawa-bawa!”
“Dasar IQ-nya jongkok!
Badak-badak itu dikirim oleh Rahardi!”
“Siapa itu? Petugas Taman Safari atau KB Ragunan?”
“Bukan! Dia penyair! Sastrawan!”
“Lo, apa urusannya dengan badak?
Apa urusannya dengan demo mahasiswa?
Kok enak saja ikut nimbrung.
Dasar pahlawan kesiangan!”
“Jangan diomeli.
Nanti dia takut lalu lari masuk hutan!”
“Masuk hutan? Siapa? Badak-badak itu?”
“Ya, badak-badak itulah panser kita
Tank kita. Hidup badak!”
“Ayo kita serbu Istana!”
“Istana presiden?”
“Ya! Istana presiden!
Kita suruh dia mundur!
Kita ganti dengan presiden baru yang lebih muda
lebih gagah dan ganteng!”
“Hus! Presiden kita kan tidak berada di istana?
Dia hilang diculik badak!”
“Kalau begitu kita serbu Markas Besar TNI!”
“Ayo!”
“Serbu!”

Matahari makin jingga
Jakarta makin jingga
pohon-pohon juga jingga
lalu-lintas itu
kereta api listrik
seluruh penumpangnya berangsur
jingga
daun-daun akasia
tajuk asoka
deretan batang angsana
seluruhnya jadi silhuet jingga
lalu matamu sendiri
roh para badak
mata para mahasiswa itu
mata para tentara
kadang jingga
kadang tak jelas
apa warnanya.


Sumber: Negeri Badak (2007).
Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Traktir


Anda suka dengan karya-karya di web Narakata? Jika iya, maka Anda bisa ikut berdonasi untuk membantu pengembangan web Narakata ini agar tetap hidup dan update. Silakan klik tombol di bawah ini sesuai nilai donasi Anda. Terima kasih.

Nih buat jajan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama