Jalan menuju rumahmu kian memanjang
Udara berkabut dan dingin subuh
Membukus perbukitan. Aku menggelepar
Di tengah salak anjing dan ringkik kuda:
Engkau dimana? Angin mengupas lembar-lembar
Kulitku dan terbongkarlah kesepian dari tulang-tulang
Rusukku. Bulan semakin samar dan gemetar
Aku menyusuri pantai, menghitung lokan dan bicara
Pada batu karang. Jalan menuju rumahku kian lengang
Udara semakin tiris dan langit menaburkan serbuk gerimis
Aku pun mengalun bersama gelombang
Meliuk mengikuti topan dan jumpalitan
Bagai ikan. Tapi matamu kian tak tergambarkan
Kulit-kulit kayu, daun-daun lontar, kertas-kertas tak lagi
Menuliskan igauanku. Semua beterbangan dan hangus
Seperti putaran waktu. Kini tak ada lagi sisa
Tak ada lagi yang tinggal pada pasir dan kelopakku
Kian runcing dan pucat. Kembali aku bergulingan
Bagai cacing dan pucat. Bersujud lama sekali
Engkau siapa? Sebab telah kutatah nisan yang indah
Telah kutulis sajak-sajak paling sunyi.
(1986)
Sumber: Jalan Menuju Rumahmu (2004).
Udara berkabut dan dingin subuh
Membukus perbukitan. Aku menggelepar
Di tengah salak anjing dan ringkik kuda:
Engkau dimana? Angin mengupas lembar-lembar
Kulitku dan terbongkarlah kesepian dari tulang-tulang
Rusukku. Bulan semakin samar dan gemetar
Aku menyusuri pantai, menghitung lokan dan bicara
Pada batu karang. Jalan menuju rumahku kian lengang
Udara semakin tiris dan langit menaburkan serbuk gerimis
Aku pun mengalun bersama gelombang
Meliuk mengikuti topan dan jumpalitan
Bagai ikan. Tapi matamu kian tak tergambarkan
Kulit-kulit kayu, daun-daun lontar, kertas-kertas tak lagi
Menuliskan igauanku. Semua beterbangan dan hangus
Seperti putaran waktu. Kini tak ada lagi sisa
Tak ada lagi yang tinggal pada pasir dan kelopakku
Kian runcing dan pucat. Kembali aku bergulingan
Bagai cacing dan pucat. Bersujud lama sekali
Engkau siapa? Sebab telah kutatah nisan yang indah
Telah kutulis sajak-sajak paling sunyi.
(1986)
Sumber: Jalan Menuju Rumahmu (2004).