Pada akhir pekan saya menyepi di sebuah hotel tua
di pinggiran kota. Petugas hotel mengantar saya
ke kamar nomor 1105. “Sudah lama kamar ini
tidak dihuni. Tak ada yang berani menginap di sini.”
Kamar itu lumayan besar, dilengkapi empat
meja bundar. Saya bersiap lembur,
menunaikan kerja menggambar.
Di meja-1 jokpin-1 menyulut sebatang rokok,
melamun sebentar, kemudian mulai menggambar
mobil jenazah. Supaya tidak tampak seram,
mobil jenazah itu diberi warna biru langit
dan dikasih tulisan “Mati untuk Hidup Abadi”.
Di meja-2 jokpin-2 sibuk menggambar sopir
mobil jenazah sambil dengan khidmat
menyedot rokok. Sopir mobil jenazah itu berusia
sekitar 55 tahun, kulitnya hitam manis, berkopiah,
berbaju batik, dan bersepatu sendal. Ia sopir
yang lugu dan sopan. Ia punya cara khas
untuk menghormat jenazah yang diantar masuk
ke dalam mobilnya: membungkuk, terpejam,
menempelkan telapak tangan kanan ke dada.
Di meja-3 jokpin-3 suntuk menggambar peti jenazah
sambil sesekali mempermainkan asap rokok.
Peti jenazah bikinannya sederhana saja,
tanpa ukiran dan hiasan. Ia tidak ingin
peti jenazah itu tampak lebih mewah
dari jenazah yang akan ditidurkan di dalamnya.
Di meja-4 jokpin-4 bertugas menggambar jenazah.
Ia tampak sangat gelisah sampai-sampai tanpa sadar
dimatikannya rokok yang baru separuh dihisapnya.
Berkali-kali ia membuat sketsa, tak ada satu pun
yang jadi. Ia ingin jenazah buatannya terlihat
tenang dan riang seperti orang habis mandi.
Lebih bagus lagi jika jenazah itu terbaring
damai sambil mendekap sebuah buku puisi.
Menjelang dinihari saya dikagetkan suara
kecipak air di kamar mandi. Dengan waspada
saya buka pintu kamar mandi. Kulihat jokpin kecil
sedang mandiri (mandi sendiri) sambil bermain
telepon genggam. Telepon genggam mainan.
Jokpin-1, jokpin-2, dan jokpin-3 tertidur di kursi,
sementara jokpin-4 masih terlihat bingung
dan pusing, jidatnya seperti puisi setengah jadi.
Pagi-pagi petugas hotel mengetuk pintu,
memberitahukan ada seorang tamu berkopiah,
berbaju batik, bersepatu sendal menunggu saya
di lobi. “Dia bilang mobil jenazahnya sudah siap.”
Jokpin-4 bangkit berdiri: “Katakan kepada sopir
mobil jenazah itu bahwa jenazahnya belum jadi.
Tolong persilakan dia pergi.”
Suatu malam saya diundang pesta puisi
di balai kota. Di halaman gedung pertunjukan
saya melihat mobil jenazah berwarna biru langit
terparkir di antara mobil-mobil lain yang tentu saja
bukan mobil jenazah namun bila diamati
dengan mata ketiga sebenarnya mirip
mobil jenazah juga. Sopir mobil jenazah
tahu-tahu sudah berdiri di hadapan saya.
Dengan hormat ia membungkuk, terpejam
sambil menempelkan telapak tangan kanan di dada.
Saya tarik lengannya: “Hai, aku masih hidup, tahu?”
Ia cuma tersenyum: “Maaf, tuan, maaf, tuan.”
Di lorong remang menuju kamar mandi
saya dihadang seorang wartawan: “Seperti apa
rasanya menulis puisi?” Saya teringat jokpin-4
yang menggambar jenazah tak jadi-jadi.
Saat saya menunggu taksi untuk pulang,
sopir mobil jenazah mendekati saya lagi.
“Taksinya mogok. Mari ikut mobil saya saja.”
Dengan halus saya menolak tawarannya
dan mempersilakannya pergi. Saya tak ingin
melihat mobil jenazahnya lagi. Biarlah
saya dengar jerit sirenenya saja di malam sunyi.
Puisi ini belum jadi mesti diakhiri sebab saya
harus segera menerima telepon dari sopir
mobil jenazah itu. Ia mengabarkan dirinya
baru saja dapat lotere. Nomornya tembus.
“Memang kamu pasang nomor berapa?” tanya saya.
Dari seberang ia menjawab riang, “Nomor 1105.”
(2010)
Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016).
di pinggiran kota. Petugas hotel mengantar saya
ke kamar nomor 1105. “Sudah lama kamar ini
tidak dihuni. Tak ada yang berani menginap di sini.”
Kamar itu lumayan besar, dilengkapi empat
meja bundar. Saya bersiap lembur,
menunaikan kerja menggambar.
Di meja-1 jokpin-1 menyulut sebatang rokok,
melamun sebentar, kemudian mulai menggambar
mobil jenazah. Supaya tidak tampak seram,
mobil jenazah itu diberi warna biru langit
dan dikasih tulisan “Mati untuk Hidup Abadi”.
Di meja-2 jokpin-2 sibuk menggambar sopir
mobil jenazah sambil dengan khidmat
menyedot rokok. Sopir mobil jenazah itu berusia
sekitar 55 tahun, kulitnya hitam manis, berkopiah,
berbaju batik, dan bersepatu sendal. Ia sopir
yang lugu dan sopan. Ia punya cara khas
untuk menghormat jenazah yang diantar masuk
ke dalam mobilnya: membungkuk, terpejam,
menempelkan telapak tangan kanan ke dada.
Di meja-3 jokpin-3 suntuk menggambar peti jenazah
sambil sesekali mempermainkan asap rokok.
Peti jenazah bikinannya sederhana saja,
tanpa ukiran dan hiasan. Ia tidak ingin
peti jenazah itu tampak lebih mewah
dari jenazah yang akan ditidurkan di dalamnya.
Di meja-4 jokpin-4 bertugas menggambar jenazah.
Ia tampak sangat gelisah sampai-sampai tanpa sadar
dimatikannya rokok yang baru separuh dihisapnya.
Berkali-kali ia membuat sketsa, tak ada satu pun
yang jadi. Ia ingin jenazah buatannya terlihat
tenang dan riang seperti orang habis mandi.
Lebih bagus lagi jika jenazah itu terbaring
damai sambil mendekap sebuah buku puisi.
Menjelang dinihari saya dikagetkan suara
kecipak air di kamar mandi. Dengan waspada
saya buka pintu kamar mandi. Kulihat jokpin kecil
sedang mandiri (mandi sendiri) sambil bermain
telepon genggam. Telepon genggam mainan.
Jokpin-1, jokpin-2, dan jokpin-3 tertidur di kursi,
sementara jokpin-4 masih terlihat bingung
dan pusing, jidatnya seperti puisi setengah jadi.
Pagi-pagi petugas hotel mengetuk pintu,
memberitahukan ada seorang tamu berkopiah,
berbaju batik, bersepatu sendal menunggu saya
di lobi. “Dia bilang mobil jenazahnya sudah siap.”
Jokpin-4 bangkit berdiri: “Katakan kepada sopir
mobil jenazah itu bahwa jenazahnya belum jadi.
Tolong persilakan dia pergi.”
Suatu malam saya diundang pesta puisi
di balai kota. Di halaman gedung pertunjukan
saya melihat mobil jenazah berwarna biru langit
terparkir di antara mobil-mobil lain yang tentu saja
bukan mobil jenazah namun bila diamati
dengan mata ketiga sebenarnya mirip
mobil jenazah juga. Sopir mobil jenazah
tahu-tahu sudah berdiri di hadapan saya.
Dengan hormat ia membungkuk, terpejam
sambil menempelkan telapak tangan kanan di dada.
Saya tarik lengannya: “Hai, aku masih hidup, tahu?”
Ia cuma tersenyum: “Maaf, tuan, maaf, tuan.”
Di lorong remang menuju kamar mandi
saya dihadang seorang wartawan: “Seperti apa
rasanya menulis puisi?” Saya teringat jokpin-4
yang menggambar jenazah tak jadi-jadi.
Saat saya menunggu taksi untuk pulang,
sopir mobil jenazah mendekati saya lagi.
“Taksinya mogok. Mari ikut mobil saya saja.”
Dengan halus saya menolak tawarannya
dan mempersilakannya pergi. Saya tak ingin
melihat mobil jenazahnya lagi. Biarlah
saya dengar jerit sirenenya saja di malam sunyi.
Puisi ini belum jadi mesti diakhiri sebab saya
harus segera menerima telepon dari sopir
mobil jenazah itu. Ia mengabarkan dirinya
baru saja dapat lotere. Nomornya tembus.
“Memang kamu pasang nomor berapa?” tanya saya.
Dari seberang ia menjawab riang, “Nomor 1105.”
(2010)
Sumber: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016).