Puisi Remang Karya Acep Zamzam Noor

Remang melingkari senja
Ketika gugusan awan
Bertudung langit kehitaman
Ada sedikit bercak merah
Di seputarnya. Dari kafe ini
Laut nampak gelap berkilauan
Kesepian dan ketakutan
Hadir di antara gelas-gelas
Yang mengepulkan bulatan asap

Kaukeluarkan rokok mentolmu
Dan dengan anggun menyulutnya
Satu demi satu. Kulihat batu hijau
Bersemayam di belahan dadamu
Sedang batu hitam nampak tersipu
Di jemari kirimu. “Tak ada alkohol di sini
Namun tersedia macam-macam kopi,” bisikmu
“Tidak apa, rasanya aku sudah cukup mabuk
Melihat bola matamu,” jawabmu dalam hati

Daun-daun merunduk di halaman
Kota di kejauhan bagaikan titik-titik api
Yang bertebaran. Udara dingin, semilir angin
Getar musik merayapi detik demi detik
Melampaui ujung menit. Waktu adalah jendela
Di mana kesepian dan ketakutan menjelma
Menjadi rumah-rumah kecil, jalan-jalan sempit
Selokan-selokan macet. Kualihkan pandanganku
Dan kembali kuamati batu hijau di dadamu

Diam-diam kukeluarkan sejumlah batu
Dan kuperlihatkan satu demi satu padamu
Kemudian aku menggosoknya pelan
Dengan ujung baju. Senja semakin renta
Remangnya menguasai seluruh cakrawala
Sedang laut masih nampak gelap berkilauan
Seperti lukisan. Lampu-lampu di kejauhan
Terus berkedipan di antara musik dan senyap
Yang merambat, “Batu itu seperti kata
Semakin digosok semakin bercahaya,” ujarku

Kau tersenyum. Kau menatapku
Aku pun tersenyum. Aku pun menatapmu
Kusentuh rambutmu dan kusaksikan di bawah
Rumah-rumah seperti menyala, jalan-jalan melingkar
Bagaikan benang-benang cahaya, selokan-selokan berpendaran
Dan aku melihat begitu banyak kunang-kunang di udara
Dengan sopan kutarik pundakmu ke dadaku dan kurapatkan
Dudukku dengan dudukmu. “Om sudah menulis syair
Jauh sebelum aku lahir,” tiba-tiba kau berkata
Dan aku paham apa maknanya

(2006)


Sumber: Menjadi Penyair Lagi (2007).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama