bahkan kertas tisu
harga sebulan susu anakku.
pukul empat sepuluh sore
dendang lagu membentak tembok tua
lampu kristal menggerutu,
siapa mengoyak wibawa sunyi?
“oo … tuan rumah tengah bernyanyi …”
wastafel ketus membeku
sabun cair celoteh tak tentu
dan peturasan menggerojok air
dengan wangi mantan pacarku
di dinding, cermin besar tertawa,
“berapa sudah orang besar
mematut plastik wajahnya
mengemas iblis ambisinya
di bening jidatku, tanpa tersipu”
aku tersenyum,
meraba air hangat
merasa lembutnya mimpi istriku
dan membasahi rambut
“laiknya menteri akan diganti,”
hahaha … keramik impor terpingkal
cermin terbahak tawa
aku menyerapah sumpah
tapi senandung itu,
desibelnya menggetarkan
perempuan di kanvas sujoyono
dan kuda raden saleh memekik
menerobos lubang air
tempat ludah menyesali kedatanganku
aku meremas handuk hangat
seperti memeras rezeki keluarga
aku pamit pada air seniku
karena acara segera selesai
lagu mencari koda yang tak usai
toilet itu tersenyum
parfumnya menyengat, membuat
foto di dompetku cemburu
aku juga tertawa
tak mengira, 20 menit
aku berteater dengan toilet istana
panggung paling merangsang
sebab hati dan kepalanya terang
empat tigapuluh sore
kubelakangi pintu panggung itu
yang menutup tanpa debam
yang tersinggung tanpa dendam
cuma suara lagu terus mendengung
terpenjara dalam panggung
memantul antara cermin dan
peturasan, memberi hiburan
bagi orang besar, mana saja
yang segera masuk becermin
dan tak menyesali
kotorannya pergi
Sumber: "11 Puisi Radhar Panca Dahana, Refrormati, Ekonomi Plastik hingga Dari Lapitan Kususu Lautan", https://jateng.tribunnews.com/2021/04/23/11-puisi-radhar-panca-dahana-refrormati-ekonomi-plastik-hingga-dari-lapitan-kususu-lautan.
harga sebulan susu anakku.
pukul empat sepuluh sore
dendang lagu membentak tembok tua
lampu kristal menggerutu,
siapa mengoyak wibawa sunyi?
“oo … tuan rumah tengah bernyanyi …”
wastafel ketus membeku
sabun cair celoteh tak tentu
dan peturasan menggerojok air
dengan wangi mantan pacarku
di dinding, cermin besar tertawa,
“berapa sudah orang besar
mematut plastik wajahnya
mengemas iblis ambisinya
di bening jidatku, tanpa tersipu”
aku tersenyum,
meraba air hangat
merasa lembutnya mimpi istriku
dan membasahi rambut
“laiknya menteri akan diganti,”
hahaha … keramik impor terpingkal
cermin terbahak tawa
aku menyerapah sumpah
tapi senandung itu,
desibelnya menggetarkan
perempuan di kanvas sujoyono
dan kuda raden saleh memekik
menerobos lubang air
tempat ludah menyesali kedatanganku
aku meremas handuk hangat
seperti memeras rezeki keluarga
aku pamit pada air seniku
karena acara segera selesai
lagu mencari koda yang tak usai
toilet itu tersenyum
parfumnya menyengat, membuat
foto di dompetku cemburu
aku juga tertawa
tak mengira, 20 menit
aku berteater dengan toilet istana
panggung paling merangsang
sebab hati dan kepalanya terang
empat tigapuluh sore
kubelakangi pintu panggung itu
yang menutup tanpa debam
yang tersinggung tanpa dendam
cuma suara lagu terus mendengung
terpenjara dalam panggung
memantul antara cermin dan
peturasan, memberi hiburan
bagi orang besar, mana saja
yang segera masuk becermin
dan tak menyesali
kotorannya pergi
Sumber: "11 Puisi Radhar Panca Dahana, Refrormati, Ekonomi Plastik hingga Dari Lapitan Kususu Lautan", https://jateng.tribunnews.com/2021/04/23/11-puisi-radhar-panca-dahana-refrormati-ekonomi-plastik-hingga-dari-lapitan-kususu-lautan.