Perempuan-perempuan di Jawa Timur berhenti murka dan menangis
Kantor berita berhenti mengarang kabar-kabar
Hari masih tetap panas dalam kemarau yang aneh hitungannya
Angin mati sehari, sungai membuai dan mendung di atas hutan
Adalah kebun-kebun tembakau, siul suling gembala yang risau
Padang-padang cagar alam lalu jajaran bukit kapur
Semuanya terasa mendalam, semuanya jadi kabur
Seorang gadis kecil duduk terpencil, di ujung kampung
Hari ini keramasnya pertama, rambutnya basah dengan darah
Yatim piatu, merasa tak berarti dan termenung
Hari ini keramasnya pertama, rambutnya basah dengan darah
Genderang telah sayup bunyi namun bumi masih mengandung api
Hari membagi panas dalam kemarau yang ganjil hitungannya
Sepanjang gantungan kain jemuran bau cairan empedu
Dan di atas, burung-burung mengapung, menghitung-hitung
Kereta malam tergegas melewati desa dan kota
Pantai-pantai yang pernah indah dengan warna gembira
Matahari tenggelam ketika langit dan tanah penuh luka
Bisakah terbagi itu duka
Seorang gadis kecil duduk terpencil, di ujung kampung
Hari ini keramasnya pertama, rambutnya basah dengan darah
Dia merasa sakit, yatim piatu dan bermenung
Hari ini keramasnya pertama, rambutnya basah dengan darah
Perempuan-perempuan di Jawa Timur berhenti murka dan menangis
Kantor berita berhenti mengarang kabar-kabar
Hari masih tetap panas dan kemarau yang ganjil hitungannya
Angin mati sehari, sungai membuai dan mendung di atas hutan
Adalah kebun-kebun tembakau, siul suling gembala yang risau
Padang-padang cagar alam lalu jajaran bukit kapur
Semuanya terasa mendalam, semuanya jadi kubur.
(Iowa City, 16 Februari 1972)
Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000).
Kantor berita berhenti mengarang kabar-kabar
Hari masih tetap panas dalam kemarau yang aneh hitungannya
Angin mati sehari, sungai membuai dan mendung di atas hutan
Adalah kebun-kebun tembakau, siul suling gembala yang risau
Padang-padang cagar alam lalu jajaran bukit kapur
Semuanya terasa mendalam, semuanya jadi kabur
Seorang gadis kecil duduk terpencil, di ujung kampung
Hari ini keramasnya pertama, rambutnya basah dengan darah
Yatim piatu, merasa tak berarti dan termenung
Hari ini keramasnya pertama, rambutnya basah dengan darah
Genderang telah sayup bunyi namun bumi masih mengandung api
Hari membagi panas dalam kemarau yang ganjil hitungannya
Sepanjang gantungan kain jemuran bau cairan empedu
Dan di atas, burung-burung mengapung, menghitung-hitung
Kereta malam tergegas melewati desa dan kota
Pantai-pantai yang pernah indah dengan warna gembira
Matahari tenggelam ketika langit dan tanah penuh luka
Bisakah terbagi itu duka
Seorang gadis kecil duduk terpencil, di ujung kampung
Hari ini keramasnya pertama, rambutnya basah dengan darah
Dia merasa sakit, yatim piatu dan bermenung
Hari ini keramasnya pertama, rambutnya basah dengan darah
Perempuan-perempuan di Jawa Timur berhenti murka dan menangis
Kantor berita berhenti mengarang kabar-kabar
Hari masih tetap panas dan kemarau yang ganjil hitungannya
Angin mati sehari, sungai membuai dan mendung di atas hutan
Adalah kebun-kebun tembakau, siul suling gembala yang risau
Padang-padang cagar alam lalu jajaran bukit kapur
Semuanya terasa mendalam, semuanya jadi kubur.
(Iowa City, 16 Februari 1972)
Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000).