Puisi Almamater Karya Taufiq Ismail

Di depan gerbangmu tua pada hari ini
Kami menyilangkan tangan, ke dada kiri
Tegak tengadah menatap menatap bangunanmu
Genteng hitam dan dinding kusam. Berlumut waktu
Untuk kali penghabisan

Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu
Hari-hari kuliah di ruang fisika
Mengantuk pada pagi cericit burung gereja
Praktikum. Padang percobaan. Praktek daerah
Corong anestesi dan kilau skalpel di kamar bedah
Suara-suara menjalar sepanjang gang
Suara pasien yang pertama kali kujamah

Di aula ini, aula yang semakin kecil
Kita beragitasi, berpesta, dan berkencan
Melupakan sengitnya ujian, tekanan guru besar
Melepaskannya pada hari-hari perpeloncoan
Pada filem dan musik yang murahan

Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik
Drama Sophocles, Chekov atau ‘Jas Panjang Pesanan’
Memperdebatkan politik, Tuhan dan para negarawan
Tentang filsafat, perempuan serta peperangan
Bayang benua abad dahulu lewat abad yang kini

Dimanakah kau sekarang berdiri? Di abad ini
Dan bersyukurlah karena lewat gerbangmu tua
Kau telah dilantik jadi warga Republik Berpikir Bebas
Setelah bertahun diuji kesetiaan dan keberanianmu
Dalam berpikir dan menyatakan kebebasan suara hati
Berpijak di tanah air nusantara
Dan menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dengan penuh kecintaan

Dan kami bersyukur pada Tuhan
Yang telah melebarkan gerbang tua ini
Dan kami bersyukur pada ibu bapa
Yang sepanjang malam
Selalu berdoa tulus dan terbungkuk membiayai kami
Dorongan kekasih sepenuh hati
Dan kami berhutang pada manusia
Yang telah menjadi guru-guru kami
Yang membayar pajak selama ini
Serta menjaga sepeda-sepeda kami

Pada hari ini di depan gerbangmu tua
Kami kenangkan cemara halamanmu dalam bau formalin

Mikroskop. Kamar obat. Perpustakaan
Gulungan layar di kampung nelayan
Nyanyi pohon-pohon perkebunan
Angin hijau di padang-padang peternakan
Deru kemarau di padang-padang penggembalaan
Dalam mimpi teknologi, kami kini dipanggil
Untuk menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dan mencintai manusianya
Mencintai kebebasannya.

(1963)


Sumber: Tirani dan Benteng (1993).
Surya Adhi

Seorang yang sedang mencari bekal untuk pulang.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama