Rupanya aku harus pergi lagi. Sendiri
Kembali duduk di bangku-tunggu malam ini
Sehelai koran sore dan bis penghabisan belum berangkat
Lampu pijar sekian ribu wat, sisa-sisa lagu 'Desafinado'
Lalu-lintas mulai surut, malam pun berangkat larut
Kami sama menunggu ini, duduk di bangku kayu jati
Mengenang beberapa nama dan sekian peristiwa
Yang telah dipadatkan dan diberi selaput sunyi...
Tetanggaku gelisah, portir gelisah, siapa lagi resah
Sehelai karcis peron, tadi sore sobek di tengah
Denyut lalu lintas malam menyerap di nadiku
Panas, namun mulai sunyi serta ada yang tak terjawab
Pada bintik-bintik air di pelataran aspal hitam, rata dan dingin
Stasiun bis ini, terbuka rongga dan dipukul angin
Menganga, tanpa kata, lagu itu pun telah berhenti
Dimanakah jawaban terhadap sunyi? Kubaca langit
Di antara temaram daun-daun asam. Hanya sedikit
Tapi adakah? Benarkah? Dinding kaca loket berkilau
Portir itu mengenakan jaketnya
Pegawai Kota-praja memasang pipa. Mereka tak bicara
Padaku lagi. Mereka memasangkan sekrup-sekrup sunyi
Pada sistem mesin yang kelam ini
Sedangkan sunyi juga tidak lagi
Bicara padaku dengan bahasa itu
Aku tidak peka lagi? Mengapa kesunyian tidak...
Terlalu terlibat diri. Aku harus kini
Mengejar itu sunyi
Sendiri
Apakah ini tiket terakhir untuk tiba besok pagi?
Bukan soal lagi. Perjalanan adalah perjalanan
Dan sebuah sinyal atau pengumuman pengeras suara
Memanggil nama kita
Membacakan baris-baris cuaca
Satu demi satu. Kita berangkat sendiri
Mungkinkah menoleh sempat lagi sekali
Mungkinkah ini tiket terakhir
untuk tiba
besok pagi
Bumi gemuruh yang sepi
Langit guruh yang sunyi.
(1968)
Sumber: Horison (September, 1968).
Kembali duduk di bangku-tunggu malam ini
Sehelai koran sore dan bis penghabisan belum berangkat
Lampu pijar sekian ribu wat, sisa-sisa lagu 'Desafinado'
Lalu-lintas mulai surut, malam pun berangkat larut
Kami sama menunggu ini, duduk di bangku kayu jati
Mengenang beberapa nama dan sekian peristiwa
Yang telah dipadatkan dan diberi selaput sunyi...
Tetanggaku gelisah, portir gelisah, siapa lagi resah
Sehelai karcis peron, tadi sore sobek di tengah
Denyut lalu lintas malam menyerap di nadiku
Panas, namun mulai sunyi serta ada yang tak terjawab
Pada bintik-bintik air di pelataran aspal hitam, rata dan dingin
Stasiun bis ini, terbuka rongga dan dipukul angin
Menganga, tanpa kata, lagu itu pun telah berhenti
Dimanakah jawaban terhadap sunyi? Kubaca langit
Di antara temaram daun-daun asam. Hanya sedikit
Tapi adakah? Benarkah? Dinding kaca loket berkilau
Portir itu mengenakan jaketnya
Pegawai Kota-praja memasang pipa. Mereka tak bicara
Padaku lagi. Mereka memasangkan sekrup-sekrup sunyi
Pada sistem mesin yang kelam ini
Sedangkan sunyi juga tidak lagi
Bicara padaku dengan bahasa itu
Aku tidak peka lagi? Mengapa kesunyian tidak...
Terlalu terlibat diri. Aku harus kini
Mengejar itu sunyi
Sendiri
Apakah ini tiket terakhir untuk tiba besok pagi?
Bukan soal lagi. Perjalanan adalah perjalanan
Dan sebuah sinyal atau pengumuman pengeras suara
Memanggil nama kita
Membacakan baris-baris cuaca
Satu demi satu. Kita berangkat sendiri
Mungkinkah menoleh sempat lagi sekali
Mungkinkah ini tiket terakhir
untuk tiba
besok pagi
Bumi gemuruh yang sepi
Langit guruh yang sunyi.
(1968)
Sumber: Horison (September, 1968).