Floribertus Rahardi dan lahir di Ambarawa 10 Juni 1950. Rahardi pernah merencanakan membawa sejumlah WTS dari Kramat Tunggak, Bongkaran, Boker, dan lain-lain untuk ikut membacakan sajaknya di Taman Ismail Marzuki tahun 1984.
Namun, rencana itu gagal karena dilarang Dewan Kesenian Jakarta. Dia sempat mendapat julukan "Manusia Singkong" karena karyanya bersumber pada sikap orang-orang desa yang polos, tetapi kukuh.
Sejak remaja ia sudah dipaksa bertani, menanam kubis, memelihara kambing, itik, dan sebagainya. Masa remajanya dilewatkan di Sumowono, daerah lereng Gunung Ungaran, Jawa Tengah dengan bertani. Sri Winarti, seorang sarjana sastra lulusan IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, yang saat itu dijumpai Rahardi di Sumowono akhirnya menjadi istrinya. Saat itu, Sri bekerja sebagai guru di SMP Theresiana di lereng Gunung Ungaran. Mereka mempunyai tiga orang anak dan anak-anaknya dibesarkan dalam tradisi keluarga yang sederhana.
Dia keluar dari Kelas II SMA Persiapan Negeri Ambarawa karena kekurangan biaya. Dengan ijazah SMP, ia melamar menjadi guru SD dan diterima. Mulailah ia hidup sebagai guru SD di kawasan perkebunan teh Ungaran, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Keberadaannya sebagai guru SD sangat diharapkan. Pada saat itu, masyarakat terporakporanda sebagai akibat pemberontakan G-30-S/PKI, sehingga guru sangat diperlukan. Pekerjaan guru dijalani tahun 1967—1974. Dia diangkat menjadi Kepala Sekolah Dasar Peron II Dukuh Manggung, Limbangan pada saat ia berusia dua puluh tahun. Pekerjaan itu dijalaninya sampai tahun 1974. Tahun 1974 itu juga Rahardi memutuskan keluar sebagai pegawai negeri dan pergi ke Jakarta. Di Jakarta pertama-tama ia bekerja di Sanggar Prativi dan tahun 1977 ia bekerja di majalah pertanian Trubus.
Sejak bekerja pada Yayasan Sosial Tani Membangun yang menerbitkan majalah Trubus, Rahardi seolah-olah mengalami kelahiran baru. Jabatannya sebagai wakil pemimpin redaksi banyak memotivasi masyarakat untuk bercocok tanam. Bakat bertaninya semasa di kampung telah membentuk sikap pedulinya terhadap pertanian. Dengan demikian, sangat wajar apabila ia mengaku bahwa dengan pengalaman konkretnya itu sajak-sajaknya benar-benar lahir dari hasil penghayatan empiris. Dia mulai menulis pada tahun 1969. Puisi pertamanya yang terbit di majalah Semangat tahun 1970-an diketik dan dikirim oleh temannya tanpa sepengetahuannya. Tahun 1983 terbit kumpulan puisinya yang pertama Soempah WTS (Yayasan Puisi Indonesia, Jakarta). Tahun 1985, terbit kumpulan puisinya yang kedua Catatan Harian Sang Koruptor. Karya berikutnya yang terbit adalah Migrasi Para Kampret. Pada tahun 1990 dua kumpulan puisinya, Silsilah Garong dan Tuyul, terbit sekaligus. Novelnya berjudul Para Calon Presiden (2009, Lamalera, Yogyakarta).
Namun, rencana itu gagal karena dilarang Dewan Kesenian Jakarta. Dia sempat mendapat julukan "Manusia Singkong" karena karyanya bersumber pada sikap orang-orang desa yang polos, tetapi kukuh.
Sejak remaja ia sudah dipaksa bertani, menanam kubis, memelihara kambing, itik, dan sebagainya. Masa remajanya dilewatkan di Sumowono, daerah lereng Gunung Ungaran, Jawa Tengah dengan bertani. Sri Winarti, seorang sarjana sastra lulusan IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, yang saat itu dijumpai Rahardi di Sumowono akhirnya menjadi istrinya. Saat itu, Sri bekerja sebagai guru di SMP Theresiana di lereng Gunung Ungaran. Mereka mempunyai tiga orang anak dan anak-anaknya dibesarkan dalam tradisi keluarga yang sederhana.
Dia keluar dari Kelas II SMA Persiapan Negeri Ambarawa karena kekurangan biaya. Dengan ijazah SMP, ia melamar menjadi guru SD dan diterima. Mulailah ia hidup sebagai guru SD di kawasan perkebunan teh Ungaran, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Keberadaannya sebagai guru SD sangat diharapkan. Pada saat itu, masyarakat terporakporanda sebagai akibat pemberontakan G-30-S/PKI, sehingga guru sangat diperlukan. Pekerjaan guru dijalani tahun 1967—1974. Dia diangkat menjadi Kepala Sekolah Dasar Peron II Dukuh Manggung, Limbangan pada saat ia berusia dua puluh tahun. Pekerjaan itu dijalaninya sampai tahun 1974. Tahun 1974 itu juga Rahardi memutuskan keluar sebagai pegawai negeri dan pergi ke Jakarta. Di Jakarta pertama-tama ia bekerja di Sanggar Prativi dan tahun 1977 ia bekerja di majalah pertanian Trubus.
Sejak bekerja pada Yayasan Sosial Tani Membangun yang menerbitkan majalah Trubus, Rahardi seolah-olah mengalami kelahiran baru. Jabatannya sebagai wakil pemimpin redaksi banyak memotivasi masyarakat untuk bercocok tanam. Bakat bertaninya semasa di kampung telah membentuk sikap pedulinya terhadap pertanian. Dengan demikian, sangat wajar apabila ia mengaku bahwa dengan pengalaman konkretnya itu sajak-sajaknya benar-benar lahir dari hasil penghayatan empiris. Dia mulai menulis pada tahun 1969. Puisi pertamanya yang terbit di majalah Semangat tahun 1970-an diketik dan dikirim oleh temannya tanpa sepengetahuannya. Tahun 1983 terbit kumpulan puisinya yang pertama Soempah WTS (Yayasan Puisi Indonesia, Jakarta). Tahun 1985, terbit kumpulan puisinya yang kedua Catatan Harian Sang Koruptor. Karya berikutnya yang terbit adalah Migrasi Para Kampret. Pada tahun 1990 dua kumpulan puisinya, Silsilah Garong dan Tuyul, terbit sekaligus. Novelnya berjudul Para Calon Presiden (2009, Lamalera, Yogyakarta).
Sumber: Ensiklopedia Sastra Indonesia