Sitor Situmorang, seorang penyair, menampilkan corak simbolik dalam sajak-sajaknya, terutama sajak-sajaknya yang awal yang terhimpun dalam Surat kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak Bernama. Puisinya yang amat terkenal sebagai puisi paling pendek berjudul "Malam Lebaran".
Dia lahir tanggal 2 Oktober 1924 di Desa Harianboho, sebuah lembah kecil di kaki Gunung Pusuk Buhit, sebelah barat Danau Toba, Sumatra Utara. Ayah Sitor bernama Ompu Babiat dan ibunya berasal dari marga Simbolon. Sebelum bertempat tinggal di Lembah Harianboho, ayahnya tinggal di Lintong. Ayahnya seorang kepala adat marga, yaitu marga Situmorang. Ibu Sitor adalah istri kedua dari Ompu Babiat.
Nama kecil Sitor Situmorang adalah Raja Usu, yang ddiambil dari nama leluhurnya. Beberapa waktu kemudian, nama itu berubah menjadi "Sitor", sehingga pada saat ia masuk ke sekolah rakyat, namanya terdaftar sebagai Raja Usu alias Sitor Situmorang.
Sitor Situmorang masuk sekolah rakyat (HIS) pada tahun 1931 di Balige. Ketika naik ke kelas 5, ia pindah ke Sibolga bersama-sama dengan kakak tertuanya yang menjadi pegawai di Sibolga. Setelah tamat sekolah rakyat tahun 1938, Sitor Situmorang masuk ke SMP (MULO) di Tarutung, dan tamat tahun 1941. Setelah tamat SMP, Sitor berangkat ke Batavia (Jakarta) dan masuk ke sekolah menengah atas (AMS). Hal itu didukung oleh saudara-saudaranya agar Sitor dapat memperoleh pendidikan yang setinggi-tingginya. Sitor berkeinginan masuk ke sekolah tinggi jurusan hukum setelah tamat SMA (AMS).
Kedatangan Jepang membuyarkan harapan Sitor. Jepang menawarkan pendidikan yang lebih baik untuknya di Tokyo. Tahun 1943 Sitor diberangkatkan ke Jepang untuk menimba ilmu. Setelah pulang dari Jepang, ia dipekerjakan di kantor keuangan Jepang yang ada di Sibolga. Beberapa lama kemudian, karena situasi Sibolga tidak aman, kantor itu dipindahkan ke Tarutung sehingga Sitor ikut pula ke Tarutung. Sitor bekerja pada Jepang hingga berakhirnya pemerintahan Jepang di Indonesia. Tahun 1945 Sitor Situmorang menikah dengan gadis berpendidikan Belanda, anak seorang demang.
Setelah Jepang jatuh, tahun 1946 Sitor bekerja sebagai redaktur surat kabar Suara Nasional yang diterbitkan oleh Komite Nasional daerah Tapanuli. Pada saat itulah ia mulai berkenalan dan bergaul dengan dunia tulis-menulis. Akan tetapi, Sitor ingin menjadi wartawan kota besar. Dengan seizin istrinya, Sitor berangkat ke Medan dan bekerja di surat kabar Waspada Medan sejak tahun 1947. Dengan demikian, Sitor mulai bergaul dengan orang-orang PNI karena pemimpin Waspada, yaitu Muhammad Said, berpartai PNI. Karena ada revolusi sosial, Sitor kembali ke Tarutung dan meninggalkan Waspada. Tahun itu juga ia melamar ke Suara Merdeka di Pematang Siantar dan diterima bekerja di sana. Pada saat ia kembali ke Waspada Medan, Sitor diutus untuk menjalankan tugas kewartawanannya di Jakarta dan Yogyakarta. Di Jakarta pada saat itu terbit majalah sastra Siasat. Setelah membaca Siasat Sitor mengetahui bahwa di Jakarta ada beberapa sastrawan yang terkenal, seperti Chairil Anwar dan Asrul Sani, Sitor pun berkenalan dengan karya-karya mereka.
Tahun 1950 Sitor mendapat beasiswa dari Pemerintah Belanda untuk pergi ke Eropa. Akhirnya, ia berangkat ke Eropa untuk menuntut ilmu selama tiga tahun. Setelah kembali ke Jakarta, ia mulai merasakan bahwa ia mampu menulis. Ketika itu sebenarnya Sitor sudah mulai terkenal dan terkemuka. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia (1980) menyatakan bahwa kunjungannya ke Eropa itu mengakibatkan Sitor terpengaruh sangat kuat oleh eksistensialisme yang dikenalnya begitu dekat selama ia berada di Paris.
Sitor Situmorang mendapat kesempatan untuk memperdalam pengetahuannya mengenai sinematografi di Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat tahun 1956—1957. Dia kemudian bekerja di Jawatan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Di samping itu, Sitor juga bekerja sebagai dosen Akademi Teater Nasional Indonesia. Dia pernah menjabat anggota Dewan Perancang Nasional, anggota MPRS, dan Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional tahun 1959—1965. Sejak tahun 2002 Sitor tercatat sebagai anggota Akademi Jakarta.
Tulisan awal Sitor banyak dipengaruhi oleh Chairil Anwar. Sajak-sajaknya yang dimuat dalam Surat Kertas Hidjau bertemakan percintaan dan pengembaraan. Sajak-sajaknya yang ditulis tahun 1953—1954 dimuat dalam buku yang berjudul Dalam Sadjak (1955) dan Wadjah Tak Bernama (1955). Pada perkembangan selanjutnya sajaknya dianggap sealiran dengan puisi-puisi Lekra seperti sajaknya yang terkumpul dalam Zaman Baru (1962). Setelah Zaman Baru muncul dua kumpulan puisinya, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977).
Selain menulis sajak, ia juga menulis cerpen, drama, esai, dan menerjemahkan. Kumpulan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956) mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN, 1955/1956 dan kumpulan sajak Peta Perjalanan memperoleh Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta, 1976/1977. Tahun 2006 sitor mendapat Hadiah Sastra Pusat Bahasa dan Sea Write Award atas karyanya yang berjudul Biksu Tak Berjubah. Karyanya yang lain, misalnya, Pangeran (kumpulan cerpen, 1963), Danau Toba (kumpulan cerpen, 1981), Jalan Mutiara (drama, 1954), Sastra Revolusioner (kumpulan esai, 1965), Triffid Mengancam Dunia (terjemahan novel, karya John Wyndham, 1953), Sel (terjemahan drama, karya Willdiam Saroyan, 1954), Hari Kemenangan, (terjemahan drama, karya M. Nijhoff, 1955).